SISI GELAP DARI UU BHP (UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN)

Author: BEM Fakultas Ekonomi UNSOED /

Oleh: Mahmud Barkah
Menteri Dalam Negeri BEM FE Unsoed 2009


UU BHP telah disahkan namun masih banyak masyarakat umum khususnya mahasiswa tidak mengetahui apa itu UU BHP??? Sungguh pertanyaan yang menggelikan karena kita sebagai mahasiswa yang memiliki tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia sama sekali tidak mengetahui tentang UU BHP. . . Untuk itu mari kita kaji lebih dalam apa itu UU BHP baik dari segi sejarah lahirnya UU BHP maupun pasal-pasal yang dianggap bermasalah.

 Sejarah lahirnya UU BHP
Lahirnya Badan Hukum Pendidikan (BHP) termuat dalam UU Sisdiknas. Pada bagian kedua tentang Badan Hukum Pendidikan Pasal 53 ayat 1,”Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Kemudian pada ayat 3 pasal yang sama berujar bahwa prinsip yang melekat pada BHP adalah nirlaba dan dapat mengelola dana sendiri.
Dengan kata lain, BHP merupakan institusi yang tidak meraup dan menumpuk keuntungan serta berprinsip otonom sebab diperbolehkan mengatur sirkulasi pendanaannya sendiri. Setelah itu UU Sisdiknas mengamanatkan pengaturan BHP ke dalam undang-undang tersendiri. Amanat UU Sisdiknas tentang BHP baru terealisasi enam tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Januari 2009 diundangkan UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Dalam UU BHP, terdapat 4 macam BHP bila dilihat dari segi pendiriannya, yakni BHP Pemerintah (BHPP), BHP Pemerintah Daerah (BHPPD), BHP Masyarakat (BHPM), dan BHP Penyelenggara. BHP bentuk apapun, pada jenjang perguruan tinggi memiliki hak otonom untuk mengatur manajemennya sendiri.

 Pasal-pasal dalam UU BHP yang dianggap bermasalah
Secara filosofis ada beberapa hal mendasar yang tidak sesuai dengan filososfi pendidikan di Indonesia, diantaranya sebagai berikut :
1. Berdasarkan UU BHP Pasal 4 ayat 1, maka “Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan harus ditanamkan kembali ke badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan”. Sekilas, bahwa prinsip BHP yang nirlaba dapat menjadikan BHP fokus terhadap penyelenggaraan pendidikan tetapi perlu diingat ketentuan nirlaba hanya berlaku di atas kertas semata. Sebab, banyak lembaga pendidikan yang tidak memilki link kuat dan juga tidak ada lagi campur tangan dari Negara berupa bantuan keuangan pendidikan akan tersingkir dari jalur penyelenggaraan pendidikan. Akan tetapi pasal 8 ayat (3) poin c tentang pendirian dan pengesahan, BHP harus memiliki kekayaan awal atau modal awal yang terpisah dari kekayaan pendiri. Artinya BHP harus mempunyai modal awal sehingga sangat memungkinkan BHP akan mencari investor awal layaknya korporasi. Dari sinilah akan mengakibatkan adanya privatisasi pendidikan. Sangat membahayakan, karena pendidikan hanya akan menjadi monopoli segelintir orang.
2. Pasal 12 ayat (1) meneyebutkan, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi dapat mendirikan BHP di Indonesia dengan menjalin kerjasama dengan BHP yang ada dalam negeri.
Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada (pasal 12 ayat [1])
Ini mengindikasikan terbukanyan peluang investor asing untuk berinvestasi di dunia pendidikan Indonesia serta membuka kran bagi masuknya budaya atau tarnformasi budaya asing (budaya Imperialisme) yang bertentangan dengan budaya Indonesia.
3. Pasal 37 ayat 1, “Kekayaan awal BHPP, BHPPD, dan BHPM berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan. Pasal ini bermakna, bahwa siapapun dapat menanam sahamnya di BHP. Terlihat, bahwa konsep ini hampir sama dengan konsep perusahaan. Apa jadinya kalau BHP yang notabene memiliki fungsi luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus hitung-menghitung keuntungan seperti perusahaan. Bila tidak ada keuntungan di BHP bisa jadi saham akan ditarik sehingga proses mencerdaskan bangsa akan tersendat. Pasal ini sesungguhnya memberikan kelonggaran bagi investasi di dalam dunia pendidikan dan semakin menegaskan tidak bertanggungjawabnya pemerintah dalam membiayai pendidikan. Membuka diri untuk investasi berarti menyatukan dunia pendidikan untuk kepentingan kaum imperialis mengeruk untung dari investasi baik modal yang harus dikembalikan hingga pada penguasaan terhadap hak atas kekayaan intelektual.
4. Pasal 38 mengatur mengenai pemberian beasiswa hanya diberikan sebesar 20 persen dari jumlah peserta didik yang ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Sementara tentang berapa besarnya biayanya ditentukan oleh organ penentu kebijakan umum tertinggi BHP. Pertanyaannya, jika di kampus atau sekolah tersebut ternyata hanya ada jumlah mereka yang sedikit berhak mendapatkan beasiswa atau ada yang mayoritas miskin sama sekali melebihi 20 persen akan seperti apa beasiswanya? Tentunya yang memang benar-benar miskin tersebut tidak mendapatkan beasiswa?
5. Secara pendanaan bila dilihat dalam Pasal 41 ayat 4 memberikan jaminan pemerintah atau pemerintah daerah turut serta menanggung 1/3 biaya operasional BHPP dan BHPPD pada jenjang pendidikan menengah, dan Pasal 41 ayat 6 memerintahkan pemerintah bersama dengan BHPP menanggung ½ dari biaya operasional BHPP.
Ketentuan tersebut sangat kontroversial karena dengan hanya menanggung 1/3 dari biaya operasional pendidikan menengah dan ½ dari biaya operasional pendidikan tinggi, maka Negara (pemerintah) lepas dari kewajiban hukum terhadap tanggung jawab negara. Biaya operasional selebihnya ditanggung oleh BHP itu sendiri, yang kemungkinan akan menjadikan siswa/mahasiswa sebagai sapi perah untuk menutupi biaya operasional pendidikan. Jika mahasiswa tidak mampu memenuhi syarat tersebut maka mahasiswa tersebut dapat di Drop-out, padahal konstitusi melalui Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan kepada Negara untuk menjamin hak memperoleh pendidikan bagi rakyatnya.
6. Pasal 42 ayat 1 menyebutkan bahwa badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakuakn investasi dalam bentuk portofolio. Artinya BHP bisa main saham. Hal ini ditakutkan akan adanya investasi asing dimana Perpres no 77 tahun 2007 tentang Daftar Negatif Investasi yang mengatur pendidikan sebagai salah satu asset yang bisa ditanami modal (asing maksimal 49 %) belum dicabut.
7. Pasal 46 ayat 1 dan 2 dengan penetapan 20 % merupakan jumlah yang cukup besar. Akan tetapi, secara prinsip ini menunjukkan bahwa uang yang berkuasa. Artinya, kesempatanmemperoleh pendidikan setinggi-tingginya tidak lagi didasarkan pada kecerdasan tetapi lebih ditentukan oleh materi.
8. Pasal 55 ayat 3 menyebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 membuat perjanjian kerja dengan pemimpin organ pengelola BHPP, BHPPD, atau BHPM dan bagi BHP penyelenggara diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
Kontrak kerja antara pendidik dan tenaga kependidikan dengan BHP sangat mengindikasikan pola korporasi dimana mereka seolah buruh pabrik yang berimplikasi khususnya bagi pendidik sangat memungkinkan konsentrasi mereka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa terganggu.

Pasal-pasal diatas merupakan sebagian kecil saja yang bermasalah, masih banyak pasal-pasal lain yang perlu dikaji lebih dalam agar mata hati kita terbuka untuk melihat kedzoliman yang terjadi di sektor pendidikan bangsa ini.
Jelas sudah, konsep BHP dijadikan sebagai icon liberalisasi di sektor jasa pendidikan. Di samping itu, BHP akan menjadi pintu masuk bagi Negara-negara maju yang bermodal cukup besar untuk mengeksploitasi Negara-negara berkembang dan miskin. Bukan rahasia umum lagi bahwa Negara-negara berkembang dan miskin sejak lama menjadi bulan-bulanan Negara maju, khususnya Negara maju yang menganut kapitalisme. Jika demikian keberadaan BHP yang sebenarnya ada untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tidak ada karena hanya menjadi alat penghisapan semata.
Untuk itu kita bisa mengatakan bahwa UU BHP sejajar dengan dua undang-undang lainnya, yaitu UU MA dan UU Migas sebagai undang-undang yang lahir dari korupsi legislasi, dibentuk melalui proses yang tidak dihadiri oleh quorum anggota dewan, dibentuk dengan pesanan kaum pemodal dan dengan tidak mengindahkan aspirasi rakyat. Pada intinya pemerintah telah lepas tanggung jawab terhadap kepastian pendidikan bagi warga negaranya dengan menerapkan otonomi pendidikan. Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa yang peduli terhadap nasib pendidikan dan rakyat banyak dengan tegas menyatakan “MENOLAK UU BHP"

1 komentar:

forever beach mengatakan...

saya setuju dengan pendapat anda. Semestinya dunia pendidikan indonesia bebas sama sekali dari praktik mencari untung finansial. Bukannya memberi akses seluasa-luasnya pada masyarakata untuk belajar, ini malah mau semakin mempersulit.Agaknya, pihak imperialis benara-benar ingin memberangus perkembangan pendidikan kita.

Posting Komentar

Silakan tinggalkan tanggapan anda..
Saran & Kritik kami terima dengan tangan terbuka. Terima Kasih..