Oleh : Suharni
Staf Sekretaris Kabinet BM FE Unsoed 2009
Pergantian hari, bulan, tahun dan musim menunjukkan bahwa dalam hidup ini perubahan itu selalu ada. Zaman terus berubah seiring dengan berjalannya waktu, demikian pula dengan tantangan-tantangan dalam kehidupan bangsa ini. Kondisi sosial, politik dan ekonomi suatu bangsa tidak akan selalu sama, akan berubah sesuai dengan berjalannya waktu, demikian juga dengan orang-orang yang sedang berkuasa untuk menjalankan bangsa ini. Oleh karena itu regenerasi diperlukan untuk memimpin bangsa ini di masa mendatang karena di dunia ini tidak ada yang tidak berubah, termasuk bangsa kita.
Lalu, siapakah generasi selanjutnya?
Sudah dapat dipastikan bahwa generasi penerus bangsa ini adalah kita sebagai mahasiswa. Mahasiswa sebagai kaum intelektual yang mempunyai peran sebagai penerus bangsa.
Sejarah telah membuktikan bahwa di tangan generasi muda atau mahasiswa perubahan-perubahan besar terjadi, mahasiswalah yang menjadi barisan terdepan perubahan kondisi bangsa. Seperti saat tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998, mahasiswalah yang berada di barisan terdepan memimpin perubahan tersebut. Mahasiswa diharapkan menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya.
Lantas sekarang apa yang dapat kita lakukan dalam menjalankan peran sebagai generasi penerus bangsa? Jawabannya adalah dengan memperkaya diri kita dengan berbagai pengetahuan baik itu dari segi keprofesian maupun kemasyarakatan, dan tak lupa untuk mengambil hikmah dari berbagai kejadian di masa lalu untuk dapat dijadikan pelajaran bagi masa yang akan darang agar hal-hal negatif tidak terulang kembali, serta dapat meningkatkan kualitas hal-hal positif. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa sekaligus elemen intelektual dalam masyarakat tidaklah dibatasi pada kewajiban akademis dan lingkungan kampus saja, melainkan juga mempunyai berbagai fungsi lain di masyarakat.
Mahasiswa memang sangat strategis dengan perubahan sosial. Ide-ide mahasiswa sering dianggap sebagai aspirasi masyarakat karena kedekatan mereka dengan masyarakat. Mahasiswa juga dianggap sebagai Problem Solver terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan juga pembawa perubahan ke arah yang lebih baik. Itulah peran kita sebagai mahasiswa yang merupakan generasi penerus bangsa. Semoga kita tidak hanya dapat mengkritik pemerintah saja tetapi kita sendiri dapat memimpin bangsa ini menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Di tangan mahasiswalah kelak perubahan-perubahan besar pada bangsa ini terjadi.
Aku sebagai mahasiswa, maka akulah harapan bangsaku. . .
HIDUP MAHASISWA!!!
Akulah Mahasiswa, Akulah Harapan Bangsaku. . .
Author: BEM Fakultas Ekonomi UNSOED /Pendidikan Membentuk Produk Kapitalis
Author: BEM Fakultas Ekonomi UNSOED /Oleh : Dimas Hanka Prayogi
Menteri Advokasi BEM FE Unsoed 2009
Mungkin kita semua tidak sadar bahwa sesungguhnya kita sedang menghadapi masalah yang sangat besar. Apa yang kita lihat saat ini seolah tidak mengesankan jika ada masalah yang terjadi dengan generasi penerus bangsa ini. Ada banyak aspek yang bisa kita jadikan sudut pandang dalam memberikan penilaian terhadap apa yang sesungguhnya sedang terjadi dengan generasi penerus bangsa kita. Namun dalam tulisan saya ini akan lebih menyoroti dalam hal pendidikan.
Tidak banyak yang tahu bahwa sebenarnya sistem pendidikan bangsa ini tengah mempersiapkan masyarakatnya menjadi antek-antek kapitalis yang selama ini kita nilai telah banyak membawa prahara dalam kehidupan bangsa ini. Para mahasiswa pun tidak henti-hentinya mengecam kapitalisme yang semakin menghegemoni di Indonesia. Namun ternyata kita terjebak dalam kontradiksi yang secara tak sadar memposisikan diri kita sebagai orang yang munafik. Kita mengecam kapitalisme, tapi setiap hari kita mempelajari nilai-nilai kapitalisme dari bangku perkuliahan.
Kapitalisme telah menebar virus dehumanisasi dalam tubuh masyarakat Indonesia khususnya mahasiswa. Mengapa saya mengatakan demikian? Tentunya saya memiliki alasan untuk menjelaskan statemen saya di atas. Perlu diketahui bahwa untuk mencapai hakikat kemanusiaanya, manusia harus terbebas dari segala bentuk heteronomi agar mampu merealisasikan dirinya secara bebas dan utuh sebagai mahluk sosial (Karl Marx). Yang dimaksud marx sebagai heteronomi adalah keadaan dimana manusia tunduk pada hukum yang bukan hukumnya sendiri. Kapitalisme memaksa yang bertentangan untuk saling mencium. Bagaimana kemudian para buruh terpaksa harus beramah tamah dengan pemilik modal yang sesungguhnya bertentangan karena masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda. Dalam hal ini kapitalisme menyamarkan penindasan kepada keharusan dalam produksi komoditi. Buruh harus melakukan produksi komoditi sesuai dengan hitungan yang ditentukan oleh pemilik modal atas nama ekonomis dan efisinsi, tidak peduli dengan nasib buruh tersebut karena hakikat kaum borjuis adalah uang (untung). Disinilah terjadinya proses dehumanisasi, dimana manusia (kaum buruh) tidak mampu merealisasikan dirinya secara bebas melalui pekerjaan yang menjadi proyeksi dari hakikat kemanusiaannya. Kembali pada pandangan marx tadi bahwa untuk mencapai hakikat kemanusiaanya manusia harus terbebas dari segala bentuk heteronomi. Dalam kondisi seperti ini jelas manusia telah ditentukan oleh kekuatan asing dari luar, yang artinya manusia tidak terbebas dari heteronomi.
Apa yang tetrjadi dalam kehidupan nyata tersebut kemudian disusupkan melalui sistem pendidikan kita. Materi yang selama ini kita dapat dalam perkuliahan sama sekali tidak terbebas dari nilai-nilai yang coba diajarkan untuk membentuk mahasiswa yang siap menjadi generasi yang akan melanggengkan kapitalisme di Negara kita. Sebagai mahasiswa ekonomi tentunya kita tidak aneh dengan materi-materi Break event point dalam produksi, bagaimana mencari laba maksimum, dan lain sebagainya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Materi yang diajarkan tersebut membentuk pola pikir yang berorientasi pada keuntungan semata. Pola pikir tersebut mengarahkan kita pada gaya hidup ala borjuis yang lebih mementingkan uang. Keadaan seperti ini mau tidak mau akan menghadapkan kita pada dua pilihan yang sama-sama akan mengasingkan kita dengan hakikat kemanusiaan kita. Pertama kita dipaksa untuk memilih menjadi pemilik modal yang menindas dengan alasan efisiensi dan ekonomis, karena jika tidak kita akan tersungkur dalam persaingan yang jelas-jelas sudah kapitalis. Atau yang kedua kita akan menjadi kaum buruh yang tidak mampu merealisasikan dirinya secara bebas melalui pekerjaannya karena terkekang oleh perjanjian kerja yang memiliki kebebasan semu.
Semoga ini bisa menjadi refleksi bagi kita semua dalam mencerna materi perkuliahan secara bijak, dan membangkitkan kesadaran kita sebagai mahasiswa untuk senantiasa mengawal pendidikan di Indonesia agar tetap sesuai dengan nilai-nilai pancasila bukan kapitalis.
Untukmu Mahasiswa
Author: BEM Fakultas Ekonomi UNSOED /Oleh : Helmy Shoim Pramudyarto
Presiden BEM FE Unsoed 2009
Sumpah Mahasiswa Indonesia
Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah,
Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.
Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah,
Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.
Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah,
Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.
Begitulah semangat yang dapat kita tangkap dari apa yang dilakukan oleh mahasiswa pada waktu menggulingkan Orde Baru Soeharto dulu. Semangat untuk meninggalkan rezim yang menindas, semangat untuk menegakkan keadilan, dan juga semangat ksatria untuk bersikap jujur.
Kawan-kawan, saat ini kita tidak sedang bernostalgia mengenang gelombang semangat mahasiswa masa lalu. Saat ini kita tidak sedang membaca sejarah masa lalu yang sangat heroik. Akan tetapi saat ini adalah fase dimana kita harus melanjutkan rentetan peristiwa sebelumnya untuk menjadi sebuah narasi sejarah yang penuh dengan tinta emas peran mahasiswa di dalamnya.
Dalam sejarah negara ini peran pemuda/mahasiswa sangatlah memegang peranan dalam merubah wajah bangsa. Hasan Al Banna memaknai pemuda/mahasiswa dengan luar biasa, beliau mengatakan, ”Berikan aku seribu pemuda maka akan aku taklukan dunia”. Pun halnya Soekarno dalam sebuah pidatonya mengatakan, ”Beri aku sepuluh pemuda maka akan aku jayakan Indonesia”. Dengan potensi yang ada baik umur, fisik, intelektualitas dan semangat juang yang tinggi sehingga menjadikan mahasiswa adalah agen perubahan atau bahkan menjadi director of change.
Pada hakekatnya, mahasiswa dengan segala potensi yang ada juga merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat yang hasil pemikiran serta gerakan nyatanya sangatlah ditunggu-tunggu demi mewujudkan perbaikan bagi bangsa ini.
Bagi mahasiswa Unsoed angkatan 2009, di hadapan kalian sudah menunggu beberapa agenda perjuangan yang membutuhkan peran aktif kalian. Saat ini ada tiga agenda besar yang nantinya akan kita hadapi bersama, yaitu :
1. Pergantian kepemimpinan di kampus
Pada Oktober nanti Unsoed akan melantik Rektor untuk periode 2009-2013. Dan pada Februari akan disusul dengan pelantikan para pembantu rektor yang kemungkinan proses pemilihannya akan dimulai pada bulan Oktober. Dalam hal ini mahasiswa harus mampu menjadi control power dan balance power. Mengapa? Karena selama ini mahasiswa tidak dilibatkan dalam kebijakan kampus. Pemimpin kampus ini haruslah sosok yang pro mahasiswa dan pro rakyat, pemimpin yang mampu mewujudkan Unsoed menjadi kampus demokratis dan pemimpin yang siap mewujudkan tata kelola organisasi yang baik juga bersih.
2. Peralihan status Unsoed
Berdasarkan rencana strategis Unsoed yang telah disusun, bahwa paling lambat tahun 2011 Unsoed akan menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Dan berdasar UU no. 12 tentang Badan Hukum Pendidikan maka paling lambat tahun 2013 Unsoed harus sudah menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Inilah perubahan yang sangat mendasar yang nantinya akan menjadikan pendidikan dikelola secara otonom oleh pihak kampus. Dan disinyalir inilah awal mula praktek komersialisasi pendidikan. Dimana kampus akan menyusun anggaran sendiri dan mempunyai kewajiban untuk memenuhinya tanpa bergantung sepenuhnya kepada negara. Sehingga ke depan tidak mengherankan jika pendidikan akan menjadi komoditas yang dinilai berdasarkan kekuatan uang.
Kawan-kawanku, sejatinya Pendidikan adalah HAK rakyat yang WAJIB dipenuhi oleh pemerintah bukan KEWAJIBAN rakyat untuk membiayai dan bukan HAK pemerintah atau institusi kampus untuk mengambil keuntungan dari pendidikan itu. Oleh karena itu perubahan status Unsoed tersebut jangan sampai menjadikan pendidikan menjadi menara gading yang tidak dapat dijangkau oleh rakyat. Jangan sampai kalian hanya diam tak berdaya menghadapi berbagai perubahan tersebut. Karena hanya pengecut yang diam melihat perubahan yang terjadi tanpa ada upaya untuk mengkritisi dan terlibat di dalamnya.
3. Pergantian kepemimpinan nasional
Apabila mahasiswa angkatan ’66 mampu menumbangkan rezim orde lama dan mahasiswa angkatan ’98 mampu menumbangkan rezim otoriter orde baru maka tidak menutup kemungkinan bagi kita saat ini untuk mengulangi sejarah tersebut. Tentu saja apabila pemerintahan yang mendatang adalah pemerintahan yang otoriter, dhzolim, menindas rakyat, dan mengingkari amanat rakyat. Mahasiswa sebagai gerakan ekstraparlementariat, sebagai gerakan moral yang independen harus selalu lantang untuk menyuarakan kepentingan rakyat dan kepentingan nasional. Dan saat ini pemerintahan yang baru di negeri ini akan segera terbentuk.
Itulah beberapa agenda strategis yang akan kita hadapi ke depan. Selain itu masih ada permasalahan pelik bangsa ini seperti, bobroknya pendidikan, permasalahan kemiskinan, pemberantasan korupsi, dan berbagai permasalahan lainnya. Kesemuanya tadi dapat kita jadikan sebagai momentum untuk mengembalikan semangat perjuangan mahasiswa yang terlihat melemah pasca reformasi.
Kawan-kawanku, kita bukankah manusia super yang akan menyelesaikan semua persoalan tersebut sendirian. Akan tetapi dibutuhkan kerja sama atau amal jama’i untuk menyelesaikannya. Dan kita bukan pengecut yang diam serta mengeluh dengan kondisi yang ada tanpa ada langkah nyata untuk mengambil peran guna menyelesaikan permasalahan tersebut. Kepedulian dan kesadaran adalah kata kunci bagi kita untuk selalu mengingat tanggung jawab besar sebagai mahasiswa.
Yang dibutuhkan bangsa ini ialah mahasiswa yang mandiri, jujur dan percaya diri. Mahasiswa yang memiliki militansi untuk menjadikan negeri ini penuh dengan rasa keadilan, jauh dari tindakan penindasan dan menjunjung tinggi kejujuran.
Semoga kalian adalah mahasiswa yang memiliki prestasi akademik cemerlang akan tetapi tidak melupakan tanggung jawab sosial kepada masyarakat yang secara otomatis kalian emban tanpa bisa ditawar lagi. Selain itu jangan lupa untuk menghidupkan tiga tradisi mahasiswa, yaitu tradisi membaca, tradisi menulis dan tradisi berdiskusi.
SISI GELAP DARI UU BHP (UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN)
Author: BEM Fakultas Ekonomi UNSOED /Oleh: Mahmud Barkah
Menteri Dalam Negeri BEM FE Unsoed 2009
UU BHP telah disahkan namun masih banyak masyarakat umum khususnya mahasiswa tidak mengetahui apa itu UU BHP??? Sungguh pertanyaan yang menggelikan karena kita sebagai mahasiswa yang memiliki tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia sama sekali tidak mengetahui tentang UU BHP. . . Untuk itu mari kita kaji lebih dalam apa itu UU BHP baik dari segi sejarah lahirnya UU BHP maupun pasal-pasal yang dianggap bermasalah.
Sejarah lahirnya UU BHP
Lahirnya Badan Hukum Pendidikan (BHP) termuat dalam UU Sisdiknas. Pada bagian kedua tentang Badan Hukum Pendidikan Pasal 53 ayat 1,”Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Kemudian pada ayat 3 pasal yang sama berujar bahwa prinsip yang melekat pada BHP adalah nirlaba dan dapat mengelola dana sendiri.
Dengan kata lain, BHP merupakan institusi yang tidak meraup dan menumpuk keuntungan serta berprinsip otonom sebab diperbolehkan mengatur sirkulasi pendanaannya sendiri. Setelah itu UU Sisdiknas mengamanatkan pengaturan BHP ke dalam undang-undang tersendiri. Amanat UU Sisdiknas tentang BHP baru terealisasi enam tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Januari 2009 diundangkan UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Dalam UU BHP, terdapat 4 macam BHP bila dilihat dari segi pendiriannya, yakni BHP Pemerintah (BHPP), BHP Pemerintah Daerah (BHPPD), BHP Masyarakat (BHPM), dan BHP Penyelenggara. BHP bentuk apapun, pada jenjang perguruan tinggi memiliki hak otonom untuk mengatur manajemennya sendiri.
Pasal-pasal dalam UU BHP yang dianggap bermasalah
Secara filosofis ada beberapa hal mendasar yang tidak sesuai dengan filososfi pendidikan di Indonesia, diantaranya sebagai berikut :
1. Berdasarkan UU BHP Pasal 4 ayat 1, maka “Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan harus ditanamkan kembali ke badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan”. Sekilas, bahwa prinsip BHP yang nirlaba dapat menjadikan BHP fokus terhadap penyelenggaraan pendidikan tetapi perlu diingat ketentuan nirlaba hanya berlaku di atas kertas semata. Sebab, banyak lembaga pendidikan yang tidak memilki link kuat dan juga tidak ada lagi campur tangan dari Negara berupa bantuan keuangan pendidikan akan tersingkir dari jalur penyelenggaraan pendidikan. Akan tetapi pasal 8 ayat (3) poin c tentang pendirian dan pengesahan, BHP harus memiliki kekayaan awal atau modal awal yang terpisah dari kekayaan pendiri. Artinya BHP harus mempunyai modal awal sehingga sangat memungkinkan BHP akan mencari investor awal layaknya korporasi. Dari sinilah akan mengakibatkan adanya privatisasi pendidikan. Sangat membahayakan, karena pendidikan hanya akan menjadi monopoli segelintir orang.
2. Pasal 12 ayat (1) meneyebutkan, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi dapat mendirikan BHP di Indonesia dengan menjalin kerjasama dengan BHP yang ada dalam negeri.
Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada (pasal 12 ayat [1])
Ini mengindikasikan terbukanyan peluang investor asing untuk berinvestasi di dunia pendidikan Indonesia serta membuka kran bagi masuknya budaya atau tarnformasi budaya asing (budaya Imperialisme) yang bertentangan dengan budaya Indonesia.
3. Pasal 37 ayat 1, “Kekayaan awal BHPP, BHPPD, dan BHPM berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan. Pasal ini bermakna, bahwa siapapun dapat menanam sahamnya di BHP. Terlihat, bahwa konsep ini hampir sama dengan konsep perusahaan. Apa jadinya kalau BHP yang notabene memiliki fungsi luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus hitung-menghitung keuntungan seperti perusahaan. Bila tidak ada keuntungan di BHP bisa jadi saham akan ditarik sehingga proses mencerdaskan bangsa akan tersendat. Pasal ini sesungguhnya memberikan kelonggaran bagi investasi di dalam dunia pendidikan dan semakin menegaskan tidak bertanggungjawabnya pemerintah dalam membiayai pendidikan. Membuka diri untuk investasi berarti menyatukan dunia pendidikan untuk kepentingan kaum imperialis mengeruk untung dari investasi baik modal yang harus dikembalikan hingga pada penguasaan terhadap hak atas kekayaan intelektual.
4. Pasal 38 mengatur mengenai pemberian beasiswa hanya diberikan sebesar 20 persen dari jumlah peserta didik yang ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Sementara tentang berapa besarnya biayanya ditentukan oleh organ penentu kebijakan umum tertinggi BHP. Pertanyaannya, jika di kampus atau sekolah tersebut ternyata hanya ada jumlah mereka yang sedikit berhak mendapatkan beasiswa atau ada yang mayoritas miskin sama sekali melebihi 20 persen akan seperti apa beasiswanya? Tentunya yang memang benar-benar miskin tersebut tidak mendapatkan beasiswa?
5. Secara pendanaan bila dilihat dalam Pasal 41 ayat 4 memberikan jaminan pemerintah atau pemerintah daerah turut serta menanggung 1/3 biaya operasional BHPP dan BHPPD pada jenjang pendidikan menengah, dan Pasal 41 ayat 6 memerintahkan pemerintah bersama dengan BHPP menanggung ½ dari biaya operasional BHPP.
Ketentuan tersebut sangat kontroversial karena dengan hanya menanggung 1/3 dari biaya operasional pendidikan menengah dan ½ dari biaya operasional pendidikan tinggi, maka Negara (pemerintah) lepas dari kewajiban hukum terhadap tanggung jawab negara. Biaya operasional selebihnya ditanggung oleh BHP itu sendiri, yang kemungkinan akan menjadikan siswa/mahasiswa sebagai sapi perah untuk menutupi biaya operasional pendidikan. Jika mahasiswa tidak mampu memenuhi syarat tersebut maka mahasiswa tersebut dapat di Drop-out, padahal konstitusi melalui Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan kepada Negara untuk menjamin hak memperoleh pendidikan bagi rakyatnya.
6. Pasal 42 ayat 1 menyebutkan bahwa badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakuakn investasi dalam bentuk portofolio. Artinya BHP bisa main saham. Hal ini ditakutkan akan adanya investasi asing dimana Perpres no 77 tahun 2007 tentang Daftar Negatif Investasi yang mengatur pendidikan sebagai salah satu asset yang bisa ditanami modal (asing maksimal 49 %) belum dicabut.
7. Pasal 46 ayat 1 dan 2 dengan penetapan 20 % merupakan jumlah yang cukup besar. Akan tetapi, secara prinsip ini menunjukkan bahwa uang yang berkuasa. Artinya, kesempatanmemperoleh pendidikan setinggi-tingginya tidak lagi didasarkan pada kecerdasan tetapi lebih ditentukan oleh materi.
8. Pasal 55 ayat 3 menyebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 membuat perjanjian kerja dengan pemimpin organ pengelola BHPP, BHPPD, atau BHPM dan bagi BHP penyelenggara diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
Kontrak kerja antara pendidik dan tenaga kependidikan dengan BHP sangat mengindikasikan pola korporasi dimana mereka seolah buruh pabrik yang berimplikasi khususnya bagi pendidik sangat memungkinkan konsentrasi mereka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa terganggu.
Pasal-pasal diatas merupakan sebagian kecil saja yang bermasalah, masih banyak pasal-pasal lain yang perlu dikaji lebih dalam agar mata hati kita terbuka untuk melihat kedzoliman yang terjadi di sektor pendidikan bangsa ini.
Jelas sudah, konsep BHP dijadikan sebagai icon liberalisasi di sektor jasa pendidikan. Di samping itu, BHP akan menjadi pintu masuk bagi Negara-negara maju yang bermodal cukup besar untuk mengeksploitasi Negara-negara berkembang dan miskin. Bukan rahasia umum lagi bahwa Negara-negara berkembang dan miskin sejak lama menjadi bulan-bulanan Negara maju, khususnya Negara maju yang menganut kapitalisme. Jika demikian keberadaan BHP yang sebenarnya ada untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tidak ada karena hanya menjadi alat penghisapan semata.
Untuk itu kita bisa mengatakan bahwa UU BHP sejajar dengan dua undang-undang lainnya, yaitu UU MA dan UU Migas sebagai undang-undang yang lahir dari korupsi legislasi, dibentuk melalui proses yang tidak dihadiri oleh quorum anggota dewan, dibentuk dengan pesanan kaum pemodal dan dengan tidak mengindahkan aspirasi rakyat. Pada intinya pemerintah telah lepas tanggung jawab terhadap kepastian pendidikan bagi warga negaranya dengan menerapkan otonomi pendidikan. Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa yang peduli terhadap nasib pendidikan dan rakyat banyak dengan tegas menyatakan “MENOLAK UU BHP"
Bobroknya Pendidikan Indonesia dan BOPP
Author: BEM Fakultas Ekonomi UNSOED /oleh Helmy Shoim P.
Presiden BEM FE UNSOED
Penting bagi kita untuk mengingat petuah dari Ki Hajar Dewantara bahwa hakikat pendidikan adalah sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dari penjelasan tersebut tampak jelas bahwa kehadiran seorang anak dalam kancah dunia pendidikan tidak bisa dilepaskan dari konteksnya sebagai bagian dari alam dan kehidupan masyarakat.
Ungkapan Ki Hajar Dewantara dapat pula diartikan bahwasanya pendidikan memegang peranan penting dalam menentukan kualitas suatu bangsa. Karena dari hasil proses pendidikan yang baiklah bangsa ini akan mendapat iron stock yang berkualitas untuk membangun dan mengembangkan bangsa ini.
Akan tetapi pada kenyataannya, sekarang pendidikan Indonesia berada dalam fase yang mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu 45 tahun pendidikan Indonesia telah mengalami pergantian kurikulum sebanyak tujuh kali perubahan (1962, 1968, 1975, 1984, 1994, KBK, dan KTSP). Namun, apakah pergantian kurikulum semacam itu sudah mampu memberikan imbas positif terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global?
Pergantian tersebut selain karena adanya kepentingan politis juga menunjukan bahwa bangsa ini memiliki sistem yang terpadu dan komprehensif untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dan ternyata saat ini berdasarkan laporan UNESCO (2007), peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Education Development Index (EDI) Indonesia hanya 0.935 yang berada di bawah negeri jiran kita Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). So?
Fakta lain yang juga mengkhawatirkan ialah adanya sinyalemen untuk menjadikan pendidikan sebagai komoditas jasa. Hal ini terlihat dari dikeluarkannya UU No.12 Tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Secara tidak langsung UU tersebut memaknai bahwa proses pendidikan merupakan sesuatu hal yang bersifat take and give. Artinya ada pihak yang menyediakan jasa pendidikan dan ada pihak yang menerima jasa pendidikan. Sehingga tidak mengherankan akan ada usaha ”jual-beli bangku” kuliah berdasarkan kekuatan finansialnya.
Lebih parah lagi kebijakan ini diindikasikan sebagai upaya pemerintah melepaskan diri dari tanggung jawab mengelola pendidikan. Karena dengan adanya BHP maka semua kebijakan sepenuhnya menjadi wewenang instiutsi BHP tersebut. Dari sinilah muncul istilah liberalisasi pendidikan. Yaitu pemisahan antara urusan pendidikan dari campur tangan pemerintah. Sehingga kewajiban negara untuk mencerdasakan kehidupan bangsa hanya akan menjadi selarik kalimat tak berarti dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam konteks yang berbeda pemerintah belum sanggup mewujudkan amanat UUD 1945 untuk merealisasikan anggaran 20% yang proporsional. Yang saya maksud proporsional ialah merupakan kritikan terhadap anggaran 20% yang sekarang. Pada saat ini anggaran sebesar itu, lebih dari 50%nya dikeluarkan untuk gaji pengajar. Sisanya dibagi untuk fasilitas dan berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan lainnya. Bagaimana pendidikan Indonesia mampu menciptakan manusia unggul apabila pemerintah tidak sanggup menyediakan pendidikan yang layak dan terjangkau bagi masyarakat. Ketidak proporsional anggaran tersebut merupakan salah satu penyebab banyak institusi pendidikan yang menerapkan pungutan kepada calon mahasiswanya. Inilah akar dari adanya praktik komersialisasi pendidikan karena pemerintah tidak menjalankan tugasnya untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Dan komersialisasi pendidikan merupakan pengingkaran terhadap konstitusi negara, dimana pendidikan dinilai berdasarkan kekuatan finansial bukan berdasar kecerdasan intelektual semata.
Di Sini???
Dan sinyal adanya komersialisasi pendidikan telah ada di kampus rakyat, Universitas Jenderal Soedirman, ini dalam bentuk BOPP. Dalam formulir BOPP sudah sangat jelas tertulis bahwa BOPP berpengaruh terhadap proses diterimanya mahasiswa. Walaupun pada perkembangan penekanan tersebut dihilangkan namun praktik ”pungutan” tersebut tetap saja dilaksanakan. Yang menjadi pertanyaan awal apakah pantas institusi pendidikan menjadikan uang sebagai syarat masuk bagi calon mahasiswanya? Kemudian orang Indonesia yang tidak sanggup membayar BOPP apakah ditolak dari kampus rakyat ini? Apakah kampus ini diperuntukkan bagi orang yang sanggup membayar saja?
Wahai mahasiswa Unsoed, BOPP adalah bentuk pengingkaran dari apa yang telah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara di atas. Dan juga bentuk pengingkaran dari cita-cita luhur pendidikan Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Dimana dalam pembukaan tersebut disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Lantas pertanyaannya, bagaimana mau cerdas kalau kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak dihalangi oleh dominannya kekuatan finansial?
Kawan-kawanku, semua bentuk komersialisasi pendidikan termasuk BOPP di dalamnya hanya akan mengkerdilkan bangsa ini. Walaupun dalih kebijakan ini ialah untuk memenuhi pembiayaan operasional dan pembangunan kampus. Padahal masih ada jalan lain yang belum dilakukan oleh kampus ini. Semisal penghematan belanja, efisiensi pegawai dan struktur, dan beberapa efisiensi operasional lainnya. Tidak adakah niat kampus ini untuk menjadikan pendidikan yang terjangkau untuk rakyat karena pada kenyataannya masih ada 30 % masyarakat miskin yang ada di Indonesia.
Untuk kondisi saat ini BOPP menjadi suatu hal yang harus kita kawal bersama bahkan kita perlu dengan lantang menyuarakan penolakan terhadap BOPP tersebut. Apapun alasan yang diberikan, kebijakan ini telah menjadikan bangku di kampus ini jadi mahal. Kebijakan ini telah menjadikan rakyat miskin yang tidak memiliki kekuatan finansial gagal untuk menjadi mahasiswa Unsoed. Dan pada intinya kebijakan ini telah menjadikan uang sebagai salah satu syarat utama untuk menjadi mahasiswa. TOLAK SEGALA BENTUK KOMERSIALISASI PENDIDIKAN!!!
Pendidikan Anti Korupsi bersama BEM FE UNSOED dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2009
Author: BEM Fakultas Ekonomi UNSOED /Breakthrough!
(22/7) Pertama kalinya aliansi BEM Universitas Jenderal Soedirman, sebuah inovasi dari BEM Fakultas Ekonomi UNSOED tahun ini menyelenggarakan Training on Trainer, sebuah program regenerasi untuk mahasiswa bersama anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didatangkan langsung dari Jakarta. PERISAI, sebuah program misi pendidikan anti korupsi KPK ini, telah terpilih 30 peserta dari sekian banyak pelamar training dari berbagai fakultas di Universitas Jenderal Soedirman, dan diantaranya dihadiri oleh Presiden BEM FE, Helmy Shoim Pramudiyanto serta Presidium Aliansi BEM UNSOED.
Dalam training ini, mahasiwa diajak untuk kenal lebih dekat lembaga independent yang kita sebut KPK. Basic knowledge apa itu korupsi, apa dampaknya, jenis-jenis korupsi apa saja beserta punishment sebagai kongkritnya penegakan hukum Indonesia atas tindak pidana korupsi, hingga praktek simulasi investigasi membongkar kasus (penggeledahan), dan tidak kalah seru aksi sosialisasi para peserta sebagai trainer anti korupsi kepada para siswa SMA di Purwokerto. Sebagai agent, mahasiwa yang telah terjaring ini akan secara otomatis menjadi pioneer pembentukan agent anti korupsi di daerah, melalui pendeklarasian JAMAK (Jaringan Mahasiswa Anti Korupsi) se-Purwokerto dan berbagai kegiatan kongkrit yang menunggu gerakan mahasiwa ke depannya sebagai follow-up setelah pendidikan ini.
Kegiatan ini disambung dengan seminar gratis dalam pekan Gebyar Banyumas Anti Korupsi “Menuju Banyumas Bebas Korupsi”, seminar yang dihadiri oleh Wakil Bupati Banyumas ini dan kalangan mahasiwa tentunya memberikan banyak informasi dan pengetahuan lebih banyak tentang KPK. Menurut Transparancy Internasional, Indonesia hanya mendapat nilai 2,6 dari skala 1 s.d 10, sedangkan Singapura dengan clean governance nya mendapat poin 9,4. Korupsi di Indonesia yang sudah mengakar merupakan tanggung jawab kita semua. Oleh karena itu, pertukaran pengetahuan antar anggota KPK dengan lembaga anti korupsi luar negeri menyimpulkan bahwa untuk mengubah suatu negara menjadi negara bebas korupsi memang tidak mudah, namun langkah penting selain pemberantasan korupsi adalah pendidikan anti korupsi kepada generasi muda, dan inilah yang sedang dilakukan oleh KPK saat ini setelah berbagi pengalaman ke berbagai universitas di Indonesia, Unsoed ikut berpartisipasi dan selangkah lebih maju!
Hidup Mahasiswa!
OKfe,,Okfe,,2009
Author: BEM Fakultas Ekonomi UNSOED /Muharam Nurdiyan dan OKFE 2009, what’s up?
Orientasi Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi tahun 2009 ini jelas jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. OKFE tahun ini diadakan pada tanggal yang bertepatan dengan bulan Ramadhan memang cukup mengundang sejumlah pertanyaan. Apa iya OKFE yang akan tetap diselenggarakan pada bulan puasa? Demi menjawab pertanyyan tersebut, kami Departemen Riset& Komunikasi bergegas untuk mencari tahu seluk beluk OKFE 2009langsung dari ketuanya, Muharam Nurdiyan.
Kenapa sih OKFE tetap diadakan pada bulan puasa?
Karena OKFE memiliki 4 fungsi utama yang sarat manfaat dan sedikit banyak nantinya akan mempengaruhi mahasiswa baru (maba), yaitu:
1. Fungsi Orientasi
Untuk menjelaskan dunia perguruan tinggi bagi maba
2. Fungsi Komunikatif
Maba diajarkan untuk berkomunikasi dengan civitas akademika FE Unsoed dari mulai UKM/HIMA sampai birokrat
3. Fungsi Normative
Agar maba memahami, menghayati, dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku di FE Unsoed
4. Fungsi Akademis
OKFe bias meningkatkan intelektual mahasiswa, bakat minat dan kepemimpinan mahasiswa
Apa Visi Anda sebagai ketua OKFE 2009?
Menjadikan OKFE sebagai wahana yang mencerahkan, menyenangkan, dan mensolidkan civitas akademika FE Unsoed
Maksud dari OKFE yang menyenangkan itu seperti apa sih? Karena seperti yang kita ketahui bahwa OKFE tidak terlepas dari peraturan-peraturan mendisiplinkan?
Jadi yang dimaksud menyenangkan disini adalah Balancing. Balance antara tugas komisi disiplin (komdis) dan pendamping. Pendamping berperan untuk lebih megayomi, memberikan perhatian, dan memberkan pengertian terhadap tugas bahkan tempat curhat dll, serta memberikan bantuan kepada maba. Semua agar maba merasa nyaman.
Sedangkan komdis yang seperi kita ketahui bahwa komdis bersifat disiplin dan tegas dalam memberikan hukuman. Namun hukuman disini harus bisa dipertanggungjawabkan oleh komdis itu sendiri, dalam artian hukuman harus sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan oleh maba.
Karena diadakan pada bulan puasa, ada engga sih konsep yang berbeda dari OKFE tahun sebelumnya, mungkin ada buka puasa atau sahur bareng gitu?
Kemungkinan itu pasti ada.
Kemungkinan yang lain dari saya pribadi adalah masalah waktu pulan. Kalau ditahun sebelumnya OKFE selesai pada pukul 16.00 WIB, bisa jadi pada saat bulan puasa pulang lebih awal. Kemudian juga masalah pengkondisian peserta, kemungkinan akan indoor.
Lalu apa yang ditekankan pada OKFE tahun ini?
Bagaimana mengubah ‘budaya’ SMA yang anak-anak menjadi lebih dewasa. Maka dari itu lebih ditekankan budaya diskusi dan mengencarkan pengenalan UKM, HIMA dan BEM utnuk mengembangkan potensi maba itu sendiri. Karena untuk mengembangkan potensi bukan hanya pada saat kuliah tapi juga bisa didapat pada diluar jam kuliah. Yaitu dengan aktif berorganisasi.
Apa harapan anda untuk OKFe tahun ini?
Ya,,,semoga semua berjalan dengan lancer. Karena tidak dapat dipungkiri kalau OKFE tahun ini adalah sebuah tantangan untuk meningkatkan motivasi atau justru malah kan menurunkan motivasi. Nah ini adalah tugas saya untuk tetap meyakinkan panitia bahwa KITA BISA.